tugas PKn Negara Suriah
Sikap Indonesia dalam krisis Suriah sangat
jelas, menolak kekerasan terhadap masyarakat sipil dan mendukung solusi damai
yang mencerminkan aspirasi rakyat Suriah. Indonesia mendukung upaya PBB dalam
mencari solusi damai dan menekankan perlu dilakukan suatu konferensi
internasional yang bersifat inklusif untuk menyatukan pandangan masyarakat
internasional dalam masalah Suriah. Indonesia pernah menarik Duta Besar di
Suriah di awal tahun ini sebagai bentuk kecaman terhadap aksi kekerasan yang
terus terjadi di negara tersebut. Namun, Pemerintah Indonesia kembali mengirim
Dubes Indonesia ke Suriah menyusul keberadaan personel TNI dan Polri yang
tengah bertugas sebagai tim peninjau PBB di Suriah untuk memastikan keamanan
dan kenyamanan mereka. Indonesia tidak akan mengusir perwakilan Suriah di
Jakarta, dengan keyakinan dalam situasi yang terus memburuk kedua negara justru
harus mempertahankan komunikasi untuk menyampaikan keprihatinan Indonesia
terhadap Suriah. Pemerintah
Indonesia menunjukan keprihatinan terhadap
pembunuhan warga sipil yang
terus terjadi dengan memanggil Kuasa
Usaha Suriah untuk Indonesia, Basam al-Khatib terkait tragedi Houla.Namun
Komisi I DPR menilai,
Pemerintah tidak tegas dalam
mengambil kebijakan politik terhadap Suriah. Indonesia harus lebih aktif dalam
upaya penyelesaian konflik di negara Timur Tengah. Sebagai negara demokratis
dan negara berpenduduk Islam terbesar, Indonesia dapat berperan penting dalam
menyikapiperkembangan di Suriah. Melihat kekerasan sistemik yang berkelanjutan
di Suriah Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap politik yang lebih tegas
dan mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Liga Arab untuk memberikan
sanksi berat kepada Pemerintahan Bashar Al-Assad. Pemerintah Indonesia memilih
untuk berperan aktif dalam proses penghentian kekerasan dengan menjadi bagian
dari tim peninjau PBB. Indonesia merupakan salah satu dari sejumlah negara yang
diminta PBB untuk mengirimkan tim pemantau ke Suriah. PBB menilai Indonesia
memiliki tenaga yang kompeten mengawasi gencatan senjata antar dua pihak
bertikai di Suriah. Saat ini ada 16 perwira Indonesia baik dari Kepolisian atau
TNI yang bertugas sebagai pemantau di Suriah. Tim Pemantau PBB berjumlah
sekitar 300 personel. Dimulai dengan Tim Pendahulu yang terdiri dari 30 orang
pemantau, termasuk 6 personel dari
Indonesia. Kemudian Tim Pemantau PBB
di tahap kedua akan diperkuat sehingga berjumlah 300 personel dari berbagai negara.
Dalam tahap kedua ini Indonesia pun tengah menyiapkan 10 personel
tambahan. Kebijakan Indonesia untuk
tetap mempertahankan hubungan diplomasi dengan Suriah dilakukan dengan pertimbangan
jumlah warga negara Indonesia yang berada di negara tersebut cukup besar.
Melihat intensitas kekerasan di Suriah yang terus meningkat, keamanan WNI di
negara tersebut kini menjadi perhatian Kementerian Luar Negeri. Data dari
Kantor Imigrasi Suriah menyatakan terdapat sekitar 80.000 WNI di negaranya. Namun
KBRI hanya mempunyai data 12.000 WNI terdiri dari diplomat, ekspatriat,
mahasiswa, dan selebihnya adalah TKI informal. Konsentrasi terbanyak warga
Indonesia ada di ibukota Damaskus dan Allepo yang merupakan kota bisnis terbesar
kedua di Suriah. Sejak bulan
Januari lalu,
Pemerintah Indonesia telah mulai melakukan evakuasi secara bertahap terhadap
WNI di Suriah yang kondisi keamanannya telah terancam. Evakuasi bertahap
dilakukan karena banyak WNI terutama Tenaga Kerja Indonesia Pekerja Laksana
Rumah Tangga (TKI PLRT) yang belum terdata. Selama ini KBRI kesulitan melakukan
pendataan untuk mengetahui jumlah pasti mereka. Kontak dengan TKI hanya dapat
dilakukan melalui hubungan telepon yang semakin sulit dilakukan karena putusnya
jaringan komunikasi. Upaya menjalin kontak langsung dengan para TKI tidak dapat
dilakukan tanpa surat persetujuan Kemenlu Suriah ke daerah konflik. Dalam
evakuasi sembilan tahap hingga 31 Mei lalu telah 233 WNI yang dipulangkan ke
Tanah Air. Proses evakuasi hanya dapat dilakukan melalui jalan darat dengan
kendaraan roda empat karena rel kereta api telah hancur dan jalur penerbangan
sudah ditutup. KBRI berharap WNI segera keluar dari daerah-daerah konflik
karena saat ini perbatasan ke negara Yordania masih bisa dilalui. Dari Yordania
para WNI tersebut akan diterbangkan ke Tanah Air. Evakuasi WNI, khususnya TKI dilaksanakan
setelah semua proses yang berkaitan dengan peraturan pemerintah Suriah untuk
pemulangan mereka diselesaikan. Hal ini tidak mudah dilakukan karena pada
umumnya paspor TKI dipegang oleh majikan. TKI harus mendapat izin dari majikan
untuk pulang dan memastikan kontrak kerja sudah berakhir dan tak tersangkut
kasus kriminalitas. Sedangkan WNI yang menjadi mahasiswa di sejumlah universitas
di Damaskus memilih bertahan demi menyelesaikan pendidikan mereka. Menurut
mereka krisis Suriah tersebut tidak berpengaruh pada mahasiswa asing, terutama
yang berasal dari Asia Tenggara.
Masyarakat internasional mengucilkan
Suriah setelah krisis politik yang telah
berlangsung lebih dari 14 bulan di
negara tersebut menewaskan lebih dari 7.500
orang warga negaranya. Puncak
kemarahan dunia adalah terjadinya ‘Tragedi Houla’ di Provinsi Homs, dengan
korban lebih dari 100 orang warga sipil, termasuk wanita dan anak-anak akibat
pembantaian pihak militer. Perserikatan Bangsa-Bangsa hingga saat ini belum berhasil
mencari solusi damai atas masalah Suriah, sehingga upaya mengatasi krisis
politik di Suriah melalui cara intervensi militer mulai dipertimbangkan. Terkait
dengan krisis Suriah, Indonesia juga perlu mengambil kebijakan secara bijaksana
dengan mempertimbangkan keberadaan WNI yang ada di Suriah.
Hassan Rohani, Presiden Iran
menyatakan solusi krisis Suriah harus dilakukan dalam kerangka kerjasama dan peran
negara-negara berpengaruh China mendesak pihak-pihak di Suriah untuk mematuhi solusi
politik untuk menggabungkan dan mendukung upaya Brahimi serta menjaga momentum
dari perundingan tersebut untuk mengerahkan lebih
banyak upaya dalam meningkatkan perundingan dan
menciptakan lingkungan eksternal yang baik." katanya menyerukan kepada masyarakat
internasional
Namun, konferensi
internasional tentang Jenewa 2
mengungkapkan sejauh mana kemunafikan Amerika Serikat dan sekutu internasional serta regional, dan usaha
mereka untuk meningkatkan situasi tersebut di Suriah dan menggagalkan penyelesaian politik untuk berbagai
potensi konflik.